Halloween party ideas 2015
Tampilkan postingan dengan label jurnalistik. Tampilkan semua postingan

Malam itu, suasana M Block Space dipenuhi sorak-sorai ratusan kompasianer yang bersemangat. Di antara mereka, saya duduk di barisan tengah, merasakan getaran antisipasi yang mendahului pengumuman medkomsubangnetworkAwards 2025. Di belakang saya, terlihat sosok-sosok senior seperti Andri Mastiyanto, Kompasianer of The Years 2022, dan Ayah Tuah, pemenang Best in Fiction 2023, menambah aura prestisius acara.

Momen yang paling dinanti pun dimulai. Kategori Pelestari dibuka, dan gelar juara diraih oleh kompasianer Jandris Sky. Trofi diwakilkan oleh Bang Andri karena Jandris berhalangan hadir. Kemudian, giliran kategori Best in Passion, yang dimenangkan oleh kompasianer Raja Lubis. Saya sempat menoleh ke arah kompasianer Fery W yang duduk di belakang, senyumnya mengisyaratkan penerimaan yang lapang atas hasil tersebut. Kategori Best in Fiction menyusul, dengan Mochamad Iqbal keluar sebagai pemenang. "Selamat ya Bang Iqbal," ucap saya sebelum ia naik ke panggung.

Tibalah saat yang paling mendebarkan bagi saya: pengumuman Best in Opinion. Jantung berdebar kencang, saya telah meminta keponakan istri saya, Gebi, untuk merekam momen ini, sebuah pertanda keyakinan yang tersembunyi di balik rasa gugup. Layar besar menampilkan para nominator, lalu suara pembawa acara mengumumkan, "Dan siapakah pemenang Best in Opinion? Selamat kepada Billy Steven Kaitjily." Foto dan nama saya terpampang nyata, memicu gelombang kebahagiaan yang membuat saya spontan berdiri, menyalami beberapa kompasianer di belakang, dan bergegas menuju panggung. Saya juga sempat bersalaman dengan Andri, Iqbal, dan Raja Lubis yang duduk di dekat panggung. Berdiri di tengah sorakan, trofi di tangan, dan kamera menyorot, saya turun dari panggung dengan gembira, bahkan sempat lupa membawa kotak trofi berwarna biru tua.

Kembali ke barisan, saya bergabung kembali dengan Andri, Iqbal, dan Raja Lubis. Momen kebersamaan para pemenang terasa hangat. Pengumuman berlanjut ke kategori Best in Storytelling, yang dimenangkan oleh kompasianer Ire Rosana Ullail. Prediksi saya tepat, dan saya sempat menyalaminya sebelum ia naik ke panggung. Di tengah obrolan hangat dengan para juara, saya sedikit teralihkan dari pengumuman berikutnya. Ternyata, saya kembali dipanggil. Kali ini, untuk kategori Best in People's Choice.

"Wow! Double blessing," batin saya. Kembali melangkah ke panggung dengan wajah ceria, namun terselip pertanyaan, "Benarkah ini untuk saya?" Sejujurnya, target utama saya adalah Best in Opinion, kategori yang saya tekuni selama dua tahun terakhir. Penghargaan People's Choice sama sekali tidak saya duga, mengingat saya adalah pendatang baru di medkomsubangnetwork, baru bergabung dua tahun lalu. Namun, penghargaan ini datang dari pilihan langsung para kompasianer di seluruh Indonesia. Saya menerimanya dengan rasa syukur yang mendalam, menyadari betapa dekatnya saya di hati mereka.

Perjalanan Tiga Tahap Menuju medkomsubangnetworkAwards 2025

Perjalanan saya menuju panggung Kompasianival 2025 ini bukanlah kebetulan. Sejak resmi bergabung dengan medkomsubangnetwork pada September 2023, saya terus berusaha memberikan yang terbaik. Setahun kemudian, pada 2024, saya berhasil masuk nominasi Best in Opinion. Kisah ini akan fokus pada perjalanan nominasi hingga kemenangan saya di tahun 2025.

Kompasianival tahun ini mengusung tema "Cerdas Digital, mandiri Finansial", sebuah pesan kuat tentang bagaimana menjadi kreator konten bukan hanya soal menghasilkan karya, tetapi juga tentang berpikir kritis, berbagi nilai positif, dan membawa perubahan. Di tengah kemeriahan itu, medkomsubangnetworkAwards menjadi puncak acara yang paling ditunggu. Ajang penghargaan ini, yang diselenggarakan untuk mengapresiasi kiprah kompasianer sepanjang tahun 2025, memiliki delapan kategori: Best in Storytelling, Best in Opinion, Best in Fiction, Best in Passion, Pelestari, People's Choice, Best Community, dan Kompasianer of The Year.

Secara umum, setiap kompasianer harus melalui tiga tahapan utama untuk meraih penghargaan: pengajuan nominasi, voting oleh komunitas, penilaian oleh dewan juri, dan akhirnya, penganugerahan.

1. Periode Pengajuan Nominasi: Antara Harap dan Cemas

"Apakah saya akan kembali masuk nominasi lagi?" Pertanyaan ini menghantui saya ketika pengumuman pengajuan nominasi dirilis pada 6 September. Pengalaman tahun sebelumnya, di mana saya masuk nominasi namun belum berhasil meraih gelar juara (yang disebut Mas Akbar Pitopang sebagai "kemenangan yang tertunda"), membuat rasa cemas itu semakin terasa.

Selama periode pengajuan (6-10 November), saya merenungkan kualitas tulisan saya sepanjang 2025. Apakah sudah cukup layak untuk dinominasikan oleh rekan-rekan kompasianer? Ternyata, mereka kembali menominasikan saya di kategori yang sama, Best in Opinion. Ini menjadi validasi bahwa, di mata mereka, tulisan saya memiliki kualitas. Tentu saja, saya tidak berani mengklaim kualitas tulisan saya secara subjektif, namun penilaian dari rekan-rekan kompasianer memberikan perspektif yang lebih objektif.

Pengumuman nominasi membawa kelegaan. Masuk nominasi saja sudah merupakan sebuah prestasi. Bayangkan, dari ribuan penulis aktif di medkomsubangnetwork, hanya lima orang yang terpilih dalam kategori Best in Opinion. Tahun ini, nominator Best in Opinion meliputi saya, Merza Gamal, Junjung Widagdo, Mutia Ramadhani, dan Fitri Haryanti Harsono. Meskipun lega, kecemasan tetap ada, mengingat pengalaman tahun lalu yang gagal meraih kemenangan.

2. Periode Voting: Merawat Kerendahan Hati di Tengah Kompetisi

"Apakah saya akan menjadi pemenang medkomsubangnetworkAwards 2025?" Pertanyaan kegelisahan kedua muncul selama periode voting (14-19 November). Saya ragu bisa menang, karena keempat nominator lainnya memiliki kualitas tulisan yang sangat baik dan layak menjadi juara.

Keraguan saya juga timbul karena topik tulisan saya. Saya tidak menulis berdasarkan latar belakang keilmuan saya di Teologi Kristen, melainkan fokus pada kebijakan publik dan tata kota berkelanjutan, khususnya untuk konteks Jakarta. Meskipun bisa dikaitkan, saya memilih untuk tidak melakukannya, mengikuti nasihat mentor akademik saya: "Tulislah apa yang minim engkau ketahui, di situ kita akan belajar sekaligus meningkatkan mutu akademik." Menulis tentang sesuatu yang tidak dikuasai memang menantang, namun justru di situlah keindahan dan kesempatan untuk mengembangkan skill serta wawasan baru.

medkomsubangnetwork mengizinkan nominator untuk melakukan "kampanye" atau promosi. Saya tidak melewatkan kesempatan ini dengan menulis artikel reflektif berjudul "Riset, Kritik Konstruktif, dan Nominasi: Dua Tahun Menulis tentang Jakarta." Artikel ini bukan sekadar ajakan untuk memilih saya, melainkan ajakan untuk mendukung semua nominator yang karyanya berkualitas. Saya juga tidak meminta dukungan berdasarkan usia atau generasi, namun lebih menekankan konsistensi saya selama dua tahun terakhir, bahkan saat kondisi kesehatan memburuk (menulis dengan tangan diinfus saat dirawat inap). Dukungan dari keluarga dan orang terdekat memang penting, namun tak cukup membawa saya hingga ke titik ini.

Saya juga sangat berterima kasih kepada empat komunitas keren yang menjadi bagian dari perjalanan saya: Kopaja71, KOKOBER, JekoHijau, dan Bloggercrony Community (BCC). Efa Butar Butar, salah satu admin BCC dan calon Kompasianer of The Year 2026, menjadi bagian dari semangat komunitas ini. Peluang kemenangan, menurut saya, sangat dipengaruhi oleh dukungan komunitas. Tanpa komunitas yang solid, kemungkinan menang menjadi kecil. Keempat komunitas yang saya ikuti memberikan dukungan luar biasa, bahkan ketua dan anggotanya turut "memenangkan saya". Pesan saya bagi siapa pun yang ingin meraih juara di Kompasianival tahun depan adalah: bergabunglah dengan komunitas yang suportif. Komunitas adalah kekuatan, bukan sekadar kompetisi.

3. Penilaian dan Malam Penghargaan: Klimaks yang Tak Terduga

"Bagaimana jika nama saya tidak dipanggil?" Pertanyaan kegelisahan ketiga dan terakhir ini memuncak pada malam penghargaan medkomsubangnetworkAwards. Sehari sebelum acara, saya berbagi rasa deg-degan dengan beberapa kompasianer, termasuk Jandris Sky, Junjung Widagdo, dan Ire Rosana Ullail. Kami membahas cara pengelola medkomsubangnetwork menghubungi nominator. Saya yang hanya dihubungi via email, sempat berpikir, "Jangan-jangan, saya bukan pemenangnya." Istri saya, Ani Mulyani, selalu memberikan dukungan, mengatakan bahwa menang atau tidak, ia tetap bangga. Sementara Junjung dan Ire terus meyakinkan saya bahwa saya akan menang, menunjukkan kebesaran hati mereka.

Malam penghargaan di M Block Space menjadi puncak dari semua kegelisahan. Saya tiba lebih awal, melakukan registrasi, dan mengambil merchandise. Senang rasanya bertemu dengan banyak kompasianer dari berbagai kota, saling bertukar sapa dan cerita. Jelang pengumuman, perasaan campur aduk antara harap dan pasrah kembali melanda.

Singkat cerita, tibalah momen pengumuman Best in Opinion. Ketika foto dan nama saya terpampang di layar, saya berdiri, melakukan selebrasi kecil dengan tos kepada beberapa kompasianer sebelum naik ke panggung. Ini adalah pengalaman pertama saya menerima penghargaan di panggung. Kabar ini saya sampaikan kepada ibu saya, yang merasa sangat senang dan bersyukur.

Malam itu, saya beruntung menerima dua trofi sekaligus: Best in Opinion, sebagai pengakuan atas konsistensi saya dalam menyampaikan ulasan, gagasan, dan kritik konstruktif, khususnya terkait pembangunan Jakarta; dan People's Choice, sebagai apresiasi dari seluruh kompasianer Indonesia.

Kesimpulan

Perjalanan menuju dua penghargaan di Kompasianival 2025 ini mengajarkan saya bahwa kegelisahan adalah bagian tak terpisahkan dari setiap proses pencapaian. Dari nominasi hingga malam penghargaan, pertanyaan "Apakah saya layak?" selalu menghantui. Namun, justru kegelisahan itulah yang membuat saya tetap rendah hati, terus belajar, dan menghargai setiap proses.

Kemenangan bukanlah tentang menjadi yang terbaik secara absolut, melainkan tentang konsistensi, keberanian keluar dari zona nyaman, dan dukungan komunitas yang tulus. Dua trofi yang saya bawa pulang bukanlah milik saya semata, melainkan milik keluarga, mentor, dan empat komunitas luar biasa yang selalu mendukung saya: Kopaja71, KOKOBER, JekoHijau, dan Bloggercrony Community.

Untuk para nominator Best in Opinion lainnya – Merza Gamal, Junjung Widagdo, Mutia Ramadhani, dan Fitri Haryanti Harsono – kalian semua luar biasa. Masuk nominasi dari ribuan penulis aktif di medkomsubangnetwork adalah prestasi yang patut dibanggakan. Jangan biarkan kekalahan tahun ini menghentikan langkah kalian. Seperti yang Mas Akbar Pitopang katakan tentang kondisi saya tahun lalu: "kemenangan yang tertunda." Teruslah menulis, konsisten, dan berkarya. medkomsubangnetwork adalah rumah bagi semua penulis, dan panggung Kompasianival akan selalu menanti mereka yang tak pernah menyerah. Tahun depan, giliran Anda berdiri di atas panggung, merasakan sorak sorai ratusan kompasianer. Sampai jumpa di Kompasianival 2026!

Terima kasih sebesar-besarnya kepada Tim Pengelola medkomsubangnetwork atas kepercayaan yang diberikan. Beberapa anggota tim yang saya kenal baik antara lain Mas Kevin, Mas Kamil, Mbak Gilang, Mas Nurulloh, dan Pak Heru Margianto, COO medkomsubangnetwork.

Misteri "Project Mercury": Meta Diduga Tutupi Dampak Buruk Media Sosial pada Kesehatan Mental

Dugaan serius kini menghampiri raksasa teknologi Meta, perusahaan induk dari platform media sosial populer seperti Facebook dan Instagram. Laporan terbaru mengindikasikan bahwa Meta diduga telah menghentikan sebuah proyek penelitian internal yang diberi nama sandi "Project Mercury". Proyek ini dibentuk dengan tujuan mulia untuk mengukur dampak penggunaan media sosial terhadap kesejahteraan penggunanya. Namun, ironisnya, penelitian ini konon dihentikan karena ditemukan bukti kuat bahwa produk-produk Meta justru memberikan pengaruh negatif yang signifikan terhadap kesehatan mental para penggunanya.

Tuduhan yang sangat memberatkan ini terungkap melalui dokumen-dokumen pengadilan yang baru saja dibuka ke publik. Dokumen-dokumen tersebut merupakan bagian dari gugatan hukum yang diajukan oleh sejumlah distrik sekolah di Amerika Serikat terhadap Meta dan beberapa platform media sosial terkemuka lainnya. Tudingan utama dalam dokumen tersebut adalah Meta diduga sengaja menyembunyikan "bukti kausal" atau bukti yang menunjukkan hubungan sebab-akibat antara penggunaan media sosial dan dampak buruknya, demi melindungi kepentingan bisnis mereka.

Latar Belakang "Project Mercury"

Berdasarkan informasi yang diperoleh melalui proses hukum, pada tahun 2020, para ilmuwan di Meta memulai sebuah inisiatif penelitian ambisius dengan nama sandi "Project Mercury". Proyek ini dijalankan bekerja sama dengan firma survei terkemuka, Nielsen. Tujuan utama dari kolaborasi ini adalah untuk secara akurat mengukur efek yang timbul ketika seorang pengguna memutuskan untuk menonaktifkan akun Facebook mereka.

Hasil dari penelitian ini, sebagaimana tercatat dalam dokumen internal, sangatlah mengejutkan. Pengguna yang memilih untuk berhenti menggunakan Facebook selama seminggu dilaporkan mengalami peningkatan signifikan dalam kondisi mental mereka. Mereka melaporkan adanya penurunan tingkat depresi, kecemasan, perasaan kesepian, dan yang tak kalah penting, berkurangnya kecenderungan untuk membandingkan diri mereka secara negatif dengan orang lain (fenomena yang dikenal sebagai social comparison).

Bahkan, para peneliti internal Meta dilaporkan secara pribadi mengakui validitas dari data yang mereka kumpulkan. Salah seorang peneliti staf yang identitasnya dirahasiakan dalam dokumen pengadilan, menuliskan pengakuan bahwa "Studi Nielsen ini memang menunjukkan dampak kausal pada perbandingan sosial." Kekhawatiran yang lebih dalam muncul dari staf lain yang secara gamblang menyamakan tindakan merahasiakan temuan negatif ini dengan taktik yang pernah digunakan oleh industri rokok di masa lalu. "Seperti industri tembakau yang melakukan penelitian dan mengetahui rokok itu buruk, lalu menyimpan informasi itu untuk diri mereka sendiri," bunyi kekhawatiran yang tertulis.

Diduga Dihentikan Demi Melindungi Bisnis

Alih-alih mempublikasikan temuan yang krusial ini atau segera melakukan perbaikan pada produk mereka, Meta diduga justru memilih untuk menghentikan proyek penelitian tersebut. Dokumen gugatan tersebut mengungkapkan bahwa Meta secara internal menyatakan bahwa temuan negatif dari studi tersebut telah "tercemar" oleh "narasi media yang ada". Pernyataan ini sangat kontras dengan apa yang Meta sampaikan kepada Kongres Amerika Serikat, di mana mereka mengklaim "tidak memiliki kemampuan untuk mengukur" apakah produk mereka berbahaya bagi remaja putri.

Perlu dicatat bahwa Meta bukanlah satu-satunya platform yang menghadapi tuntutan hukum. Bersama dengan TikTok dan Snapchat, Meta tengah menghadapi gugatan yang diajukan oleh firma hukum terkemuka, Motley Rice. Para penggugat berpendapat bahwa platform-platform media sosial ini secara sengaja menyembunyikan risiko yang melekat pada produk mereka dari pengguna, orang tua, dan para pendidik.

Dokumen-dokumen pengadilan yang kini menjadi sorotan publik juga mengungkap detail yang mengejutkan mengenai prioritas CEO Meta, Mark Zuckerberg. Dalam sebuah pesan teks yang beredar, Zuckerberg dilaporkan menyatakan pada tahun 2021 bahwa ia tidak akan menjadikan keamanan anak sebagai prioritas utamanya. "Ketika saya memiliki sejumlah area lain yang lebih saya fokuskan, seperti membangun metaverse," tulis Zuckerberg dalam pesan tersebut. Ia juga disebut pernah menolak permintaan dari Nick Clegg, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Kebijakan Publik Global, untuk meningkatkan pendanaan bagi program keselamatan anak.

Lebih lanjut, Meta dituduh menerapkan standar ganda yang sangat berbahaya. Dokumen tersebut menyebutkan bahwa Meta baru akan menghapus akun pengguna setelah mereka tertangkap sebanyak 17 kali dalam upaya melakukan perdagangan orang untuk tujuan seksual (sex trafficking). Ambang batas ini bahkan disebut oleh staf internal sebagai sesuatu yang "sangat, sangat, sangat tinggi."

Bantahan dari Meta

Menanggapi bocornya dokumen-dokumen penting ini, Juru Bicara Meta, Andy Stone, memberikan bantahan yang keras. Ia mengklaim bahwa "Project Mercury" dihentikan bukan karena hasil negatifnya, melainkan karena metodologi penelitian yang dianggap cacat. "Catatan lengkap akan menunjukkan bahwa selama lebih dari satu dekade, kami telah mendengarkan orang tua, meneliti masalah yang paling penting, dan membuat perubahan nyata untuk melindungi remaja," ujar Stone dalam pernyataannya. Stone juga menambahkan bahwa gugatan yang diajukan mengandalkan kutipan yang dipilih secara selektif (cherry-picked) dan opini yang disajikan secara keliru.

Sementara itu, platform lain seperti TikTok juga tidak luput dari tuduhan praktik manipulatif. Salah satu tuduhan yang muncul adalah TikTok diduga mensponsori organisasi orang tua seperti National PTA dengan tujuan untuk memengaruhi opini publik demi keuntungan perusahaan.

Sidang terkait dokumen-dokumen krusial ini dijadwalkan akan segera digelar pada tanggal 26 Januari mendatang di Pengadilan Distrik California Utara, yang diperkirakan akan semakin mengungkap tabir di balik operasi platform media sosial raksasa ini.

Koresponden medkomsubangnetwork, Nuri Yatul Hikmah

medkomsubangnetwork, PALMERAH— Perundungan di sekolah-sekolah Indonesia semakin sering terjadi. Yang menyedihkan, tindakan ini tidak hanya berupa ucapan kasar, tetapi bahkan bisa mengancam jiwa.

Senin lalu, tepatnya tanggal 10 November 2025, beredar kabar mengenai dugaan kekerasan yang dialami seorang siswa kelas IX di SMP Negeri 19 Tangerang Selatan oleh teman sebangkunya saat jam istirahat.

Ia diduga mengalami benturan keras di kepala dengan kursi besi sampai pingsan, dan kini telah meninggal dunia setelah menjalani perawatan intensif di ruang ICU anak RS Fatmawati, Jakarta Selatan.

Menanggapi persoalan ini, Rissalwan Habdy Lubis, seorang Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia (UI), menyatakan bahwa perundungan merupakan tindakan tercela yang kerap terjadi di lingkungan sekolah dan kasusnya sangat sering ditemui.

Menurutnya, pada dasarnya manusia adalah pribadi yang kompetitif. Apalagi, sekolah merupakan wadah pembelajaran bagi siswa di masa perkembangannya.

Dengan kata lain, mereka belajar untuk membuktikan bahwa persaingan mereka tidak terbatas di lingkungan kelas saja. Sebagian pelaku perundungan memang berasal dari kalangan yang tidak terintegrasi dengan sistem (di luar sistem). Oleh karena itu, anak-anak tersebut cenderung nakal dan sulit diatur," ujar Rissal ketika dihubungi Warta Kota pada Minggu (16/11/2025).

Rissal mengemukakan bahwa terdapat dua pola yang menjadi penyebab maraknya perundungan di sekolah.

Pertama, karena mereka berada di luar sistem, yaitu individu yang nakal dan kurang berprestasi, sehingga mereka mencari cara untuk membuat diri mereka lebih menonjol dibandingkan orang lain.

Kedua, ingin mempertinggi atau meninggikan kelas atau statusnya. Pola ini kebanyakan dilakukan oleh anak yang terlahir dari keluarga kaya raya.

Jika ini (pola kedua), maka ia melakukan perundungan yang terstruktur. Ia memiliki teman, misalnya. Jadi, perundungan akan selalu terjadi dan dalam jumlah besar, terangnya.

Menurut Rissal, pencegahan terhadap pola perundungan nomor 2 lebih mudah dilakukan dibandingkan pola perundungan nomor 1. Bahkan, metode pencegahan tersebut sudah banyak tersebar luas di media sosial.

Dalam situasi tersebut, seseorang yang menjadi sasaran perundungan oleh individu dengan status ekonomi lebih baik, cukup menunjukkan sikap menolak agar keinginan perundung tidak terpuaskan.

"Jadi, jika ia berhasil membuat orang lain merasa malu, itu berarti ia dianggap sebagai orang yang terpandang. Hal ini dilakukan untuk memperkuat kedudukannya sebagai anggota kelompok paling atas di lingkungan sekolah," terang Rissal.

Hal terpenting pertama adalah, korban tidak boleh merasa rendah diri atau bersikap defensif. Jika bersikap defensif, serangan akan terus berlanjut. Namun, ada cara untuk membalas. Contohnya, jika ada yang berkata, 'Kamu orang miskin ya? Emang kamu kaya banget?', maka langsung tanyakan balik dengan tegas," jelasnya.

Namun, sebagian besar orang abai dalam menangani pola pertama, yaitu anak yang terpinggirkan dari sistem. Padahal, justru pola inilah yang memicu maraknya perundungan.

Rissal menjelaskan bahwa korban perundungan adalah individu yang dipandang berada dalam posisi yang kurang berdaya.

Rissal mengamati bahwa dugaan kasus perundungan di SMPN 19 Tangerang Selatan, yang telah sampai pada tahap kekerasan, menunjukkan pola yang terjadi di luar sistem yang seharusnya.

Karena, tampak ada keberanian pada siswa dalam melakukan tindakan memukul dan kekerasan fisik lainnya. Ini berarti, pelaku yang diduga tidak lagi mempedulikan status sosial.

Menurut Rissal, tren ini mengarah pada anak-anak yang berada di luar sistem pendidikan, yang tidak mendapatkan perhatian dari sekolah, memiliki nilai akademis yang buruk, dan berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi yang kurang baik.

"Akhirnya, ia menjadi jagoan, menjadi preman di sekolah. Pola *bullying* semacam ini paling banyak terjadi di Amerika. Sementara di Indonesia, yang dominan adalah pola kedua," terangnya.

Dengan demikian, menurut Rissal, kedua bentuk perundungan yang umum terjadi pada anak ini berakar dari persaingan untuk menegaskan kedudukan sosial dan sebagai ganti dari status sosial yang tidak mereka peroleh di lingkungan sekolah.

Meski demikian, Rissal menyayangkan bahwa tidak semua orang tua mampu membimbing anak mereka dalam menghadapi perundungan di sekolah secara efektif. Rendahnya status sosial menjadi salah satu faktor yang berkontribusi pada hal ini.

Perundungan di SMPN 19 Tangerang Selatan

Seorang siswa SMP berinisial MH menjadi korban kekerasan di dalam kelas pada hari Senin, 10 November 2025, saat jam istirahat. Diduga, MH mengalami kekerasan berupa kepalanya dibenturkan ke kursi besi oleh teman sebangkunya yang berinisial RI.

MH menjadi korban kekerasan di ruang kelas pada hari Senin, 10 November 2025, saat jam istirahat. Diduga, RI, teman sebangku MH, membenturkan kepala korban ke sebuah kursi besi.

Kepala SMPN 19 Tangsel, Frida Tesalonika, membenarkan adanya peristiwa tersebut dan mengatakan pihak sekolah telah melakukan mediasi antara orang tua korban dan pelaku. 

Namun, kondisi MH saat ini dikabarkan meninggal dunia di RS Fatmawati setelah sebelumnua kritis dan mendapatkan perawatan intensif di ICU, Minggu (16/11/2025) pukul 06.00 WIB. 

Penjelasan keluarga

Keluarga menyebut Muhammad Hisyam sempat koma dan dirawat di ICU sebelum meninggal. Dugaan perundungan di SMPN 19 Tangsel disorot, sementara Pemkot Tangsel berkomitmen mendukung penyelidikan.

Keluarga korban perundungan di SMPN 19 Kota Tangerang Selatan, Muhammad Hisyam, mengungkapkan bahwa sebelum meninggal, remaja tersebut sudah berada dalam kondisi koma selama menjalani perawatan di RS Fatmawati, Jakarta Selatan.

Rizky Fauzi, sepupu Hisyam, menerangkan bahwa sang korban awalnya menjalani pengobatan di RS Colombus BSD, Serpong. Setelah itu, ia dipindahkan ke RS Fatmawati dan langsung dirawat di ruang ICU selama tujuh hari.

“Sepupu saya masih berada di ruang ICU RS Fatmawati sejak awal dirawat. Dokter belum dapat memberikan keterangan lebih lanjut karena kondisinya masih koma,” tutur Rizky pada hari Minggu, 16 November 2025.

Di tengah suasana berduka, pihak keluarga menyatakan belum mengajukan laporan resmi kepada aparat kepolisian.

"Menurut informasi yang saya dapatkan, KPAI berencana menjatuhkan sanksi kepada pihak sekolah. Pihak keluarga belum melaporkan karena kami masih memprioritaskan proses pemakaman jenazah," urainya lebih lanjut.

Kepala Hisyam diduga dibenturkan ke bangku besi oleh seorang teman sekelasnya, yang mengakibatkan luka serius di kepala dan membuatnya langsung pingsan.

Awalnya, pada tanggal 21 Oktober, korban hanya menyampaikan keluhan sakit kepala ringan kepada keluarganya. Belakangan, setelah diselidiki oleh keluarganya, terungkap bahwa ia menjadi korban perundungan di sekolahnya.

MH awalnya menjalani perawatan di sebuah rumah sakit swasta di Tangsel pada tanggal 21 Oktober. Namun, kondisinya memburuk sehingga ia dipindahkan ke RS Fatmawati pada tanggal 9 November.

Pada tanggal 11 November, ia ditempatkan di Unit Perawatan Intensif (ICU) dan memerlukan intubasi karena kesulitan bernapas yang disebabkan oleh cedera otak serius.

Wakil Wali Kota Tangsel Mengantarkan Jenazah

Wakil Wali Kota Tangerang Selatan, Pilar Saga Ichsan, ikut mengantarkan jenazah hingga ke tempat peristirahatan terakhir dan menyampaikan simpati mendalam kepada pihak keluarga.

“Pemerintah Kota Tangerang Selatan menyampaikan belasungkawa kami. Semoga almarhum mendapatkan ketenangan di alam kubur dan amalnya diterima oleh Allah SWT,” ujar Pilar.

Pemerintah Kota Tangerang Selatan (Pemkot Tangsel) menyatakan dukungan penuh terhadap investigasi yang tengah berlangsung oleh kepolisian. Kepala Dinas Pendidikan Kota Tangsel dilaporkan telah menjalin komunikasi dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) guna menangani aspek perlindungan anak terkait insiden ini.

Pilar menyatakan bahwa sosialisasi mengenai pencegahan perundungan secara teratur dilaksanakan bersama para kepala sekolah, komite, serta dewan pendidikan, meskipun demikian, kasus ini tetap menjadi bahan evaluasi yang mendalam bagi pemerintah daerah.

"Ini menjadi pengalaman berharga. Kami menyampaikan belasungkawa yang tulus kepada keluarga yang ditinggalkan," ujarnya.

Temukan informasi terkini lainnya dari medkomsubangnetwork melalui Google News dan WhatsApp.

Featured Image

Di Kota Semarang, Jawa Tengah, seorang siswi sekolah dasar (SD) menjadi sorotan publik setelah video yang memperlihatkan dirinya berjalan di tepi sungai untuk menuju sekolah viral di media sosial. Siswi tersebut, yang diketahui bernama JES (8), merupakan murid kelas II di SDN 01 Sampangan, Kecamatan Gajahmungkur.

Setiap hari, JES harus menempuh perjalanan yang berbahaya dan melelahkan. Dia didampingi oleh ibunya, Imelda Tobing (55), menyusuri jalur curam dan licin di pinggiran sungai demi mencapai sekolah. Akses ini terpaksa mereka lalui karena jalan utama menuju rumah mereka telah ditutup akibat sengketa kepemilikan lahan yang berkepanjangan.

Sengketa Lahan Berawal dari Transaksi Lisan

Permasalahan ini bermula pada tahun 2011. Ayah JES, Juladi Boga Siagian (54), yang berprofesi sebagai pemulung, membeli sebidang tanah dari seseorang bernama Zaenal Chodirin. Transaksi tersebut dilakukan secara lisan, dengan pembayaran yang dilakukan secara bertahap. Juladi mengaku bahwa Zaenal memberikan kemudahan dalam proses pembayaran tersebut.

Namun, setelah Zaenal meninggal dunia, adik kandungnya, Sri Rejeki, mengajukan gugatan hukum terhadap Juladi. Sri Rejeki mengklaim bahwa dirinya adalah pemilik sah lahan tersebut berdasarkan sertifikat resmi kepemilikan.

Juladi menuturkan bahwa setelah Zaenal meninggal, awalnya tidak ada masalah. Namun, kemudian Sri Rejeki melaporkannya dengan tuduhan menyerobot tanah.

Putusan Pengadilan dan Penutupan Akses Jalan

Proses hukum atas sengketa lahan ini berlanjut hingga ke pengadilan. Pada tanggal 17 Juli 2025, Pengadilan Negeri Semarang memutuskan bahwa Juladi bersalah karena terbukti menggunakan lahan tanpa hak yang sah. Ia divonis hukuman penjara selama tiga bulan.

Tidak lama setelah putusan pengadilan keluar, akses jalan yang biasa dilalui oleh keluarga Juladi ditutup oleh pihak Sri Rejeki. Meskipun Juladi telah mengajukan banding atas putusan tersebut, akses jalan tetap diblokir.

Juladi mengaku telah melaporkan permasalahan ini kepada ketua RT dan kelurahan setempat, namun belum menemukan solusi yang memuaskan. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengunggah video JES ke media sosial dengan harapan dapat menarik perhatian publik dan mendapatkan bantuan. Ia mengungkapkan keprihatinannya terhadap keselamatan anaknya yang setiap hari harus melewati sungai untuk pergi ke sekolah.

Penjelasan Pihak Penggugat

Pengacara Sri Rejeki, Roberto Sinaga, membenarkan adanya penutupan akses jalan tersebut. Ia menjelaskan bahwa tindakan tersebut merupakan langkah preventif yang dilakukan karena jalan tersebut merupakan bagian dari tanah milik kliennya.

Roberto Sinaga mengklaim bahwa pihaknya telah mencoba melakukan mediasi sejak tahun 2019, namun tidak mencapai titik temu. Bahkan, mereka sempat menawarkan solusi damai dengan melepaskan 3,5 meter lahan, tetapi pihak Juladi justru meminta ganti rugi sebesar ratusan juta rupiah.

Menurut Roberto, bukti-bukti yang diajukan oleh Juladi di pengadilan tidak autentik dan tidak dapat membuktikan kepemilikan sah atas lahan tersebut.

Upaya Pemerintah Kota Semarang Mencari Solusi

Camat Gajahmungkur, Puput Widhiyatmoko Hadinugroho, menyatakan bahwa kasus sengketa lahan ini telah beberapa kali dimediasi dari tingkat RT hingga kelurahan sejak tahun 2019. Ia mengimbau agar pihak penggugat, Sri Rejeki, menunjukkan empati terhadap kondisi keluarga Juladi, terutama terhadap anak mereka yang harus melewati jalur berbahaya untuk bersekolah.

Puput berharap agar Sri Rejeki bersedia membuka akses jalan sementara selama proses hukum masih berjalan, demi keselamatan JES saat berangkat dan pulang sekolah. Ia juga menyoroti adanya ketegangan sosial yang mempersulit proses mediasi. Juladi disebut kurang harmonis dengan lingkungan sekitar dan sempat terlibat konflik dengan warga.

Pihak kecamatan berharap agar komunikasi antara semua pihak dapat membaik dan yang terpenting, anak tidak menjadi korban dari konflik orang tua.

Dinas Pendidikan Pastikan Hak Pendidikan Anak Terpenuhi

Kepala Bidang SD Dinas Pendidikan Kota Semarang, Aji Nur Setiawan, memastikan bahwa JES tetap dapat bersekolah dan mendapatkan hak pendidikannya. Ia menegaskan bahwa permasalahan sengketa lahan ini tidak boleh mengganggu proses belajar JES. Dinas Pendidikan akan membantu agar anak tersebut tetap mendapatkan hak pendidikannya.

Aji Nur Setiawan menekankan bahwa konflik orang dewasa tidak boleh mengorbankan pendidikan anak. Anak harus tetap sekolah dan hak-haknya tidak boleh terganggu.

Kondisi Rumah dan Jalur Alternatif yang Berbahaya

Berdasarkan pantauan di lapangan, rumah keluarga Juladi terletak di tepi sungai. Akses jalan yang ditutup memiliki lebar sekitar 1 meter. Akibat penutupan jalan tersebut, keluarga Juladi terpaksa melalui jalur sempit di sepanjang aliran sungai yang licin dan rawan, terutama saat musim hujan. Kondisi ini sangat membahayakan keselamatan JES dan ibunya saat mereka pergi dan pulang sekolah.

Diberdayakan oleh Blogger.