Kompasiana Awards 2025: Kemenangan Ganda yang Mendebarkan
Malam itu, suasana M Block Space dipenuhi sorak-sorai ratusan kompasianer yang bersemangat. Di antara mereka, saya duduk di barisan tengah, merasakan getaran antisipasi yang mendahului pengumuman medkomsubangnetworkAwards 2025. Di belakang saya, terlihat sosok-sosok senior seperti Andri Mastiyanto, Kompasianer of The Years 2022, dan Ayah Tuah, pemenang Best in Fiction 2023, menambah aura prestisius acara.
Momen yang paling dinanti pun dimulai. Kategori Pelestari dibuka, dan gelar juara diraih oleh kompasianer Jandris Sky. Trofi diwakilkan oleh Bang Andri karena Jandris berhalangan hadir. Kemudian, giliran kategori Best in Passion, yang dimenangkan oleh kompasianer Raja Lubis. Saya sempat menoleh ke arah kompasianer Fery W yang duduk di belakang, senyumnya mengisyaratkan penerimaan yang lapang atas hasil tersebut. Kategori Best in Fiction menyusul, dengan Mochamad Iqbal keluar sebagai pemenang. "Selamat ya Bang Iqbal," ucap saya sebelum ia naik ke panggung.
Tibalah saat yang paling mendebarkan bagi saya: pengumuman Best in Opinion. Jantung berdebar kencang, saya telah meminta keponakan istri saya, Gebi, untuk merekam momen ini, sebuah pertanda keyakinan yang tersembunyi di balik rasa gugup. Layar besar menampilkan para nominator, lalu suara pembawa acara mengumumkan, "Dan siapakah pemenang Best in Opinion? Selamat kepada Billy Steven Kaitjily." Foto dan nama saya terpampang nyata, memicu gelombang kebahagiaan yang membuat saya spontan berdiri, menyalami beberapa kompasianer di belakang, dan bergegas menuju panggung. Saya juga sempat bersalaman dengan Andri, Iqbal, dan Raja Lubis yang duduk di dekat panggung. Berdiri di tengah sorakan, trofi di tangan, dan kamera menyorot, saya turun dari panggung dengan gembira, bahkan sempat lupa membawa kotak trofi berwarna biru tua.
Kembali ke barisan, saya bergabung kembali dengan Andri, Iqbal, dan Raja Lubis. Momen kebersamaan para pemenang terasa hangat. Pengumuman berlanjut ke kategori Best in Storytelling, yang dimenangkan oleh kompasianer Ire Rosana Ullail. Prediksi saya tepat, dan saya sempat menyalaminya sebelum ia naik ke panggung. Di tengah obrolan hangat dengan para juara, saya sedikit teralihkan dari pengumuman berikutnya. Ternyata, saya kembali dipanggil. Kali ini, untuk kategori Best in People's Choice.
"Wow! Double blessing," batin saya. Kembali melangkah ke panggung dengan wajah ceria, namun terselip pertanyaan, "Benarkah ini untuk saya?" Sejujurnya, target utama saya adalah Best in Opinion, kategori yang saya tekuni selama dua tahun terakhir. Penghargaan People's Choice sama sekali tidak saya duga, mengingat saya adalah pendatang baru di medkomsubangnetwork, baru bergabung dua tahun lalu. Namun, penghargaan ini datang dari pilihan langsung para kompasianer di seluruh Indonesia. Saya menerimanya dengan rasa syukur yang mendalam, menyadari betapa dekatnya saya di hati mereka.
Perjalanan Tiga Tahap Menuju medkomsubangnetworkAwards 2025
Perjalanan saya menuju panggung Kompasianival 2025 ini bukanlah kebetulan. Sejak resmi bergabung dengan medkomsubangnetwork pada September 2023, saya terus berusaha memberikan yang terbaik. Setahun kemudian, pada 2024, saya berhasil masuk nominasi Best in Opinion. Kisah ini akan fokus pada perjalanan nominasi hingga kemenangan saya di tahun 2025.
Kompasianival tahun ini mengusung tema "Cerdas Digital, mandiri Finansial", sebuah pesan kuat tentang bagaimana menjadi kreator konten bukan hanya soal menghasilkan karya, tetapi juga tentang berpikir kritis, berbagi nilai positif, dan membawa perubahan. Di tengah kemeriahan itu, medkomsubangnetworkAwards menjadi puncak acara yang paling ditunggu. Ajang penghargaan ini, yang diselenggarakan untuk mengapresiasi kiprah kompasianer sepanjang tahun 2025, memiliki delapan kategori: Best in Storytelling, Best in Opinion, Best in Fiction, Best in Passion, Pelestari, People's Choice, Best Community, dan Kompasianer of The Year.
Secara umum, setiap kompasianer harus melalui tiga tahapan utama untuk meraih penghargaan: pengajuan nominasi, voting oleh komunitas, penilaian oleh dewan juri, dan akhirnya, penganugerahan.
1. Periode Pengajuan Nominasi: Antara Harap dan Cemas
"Apakah saya akan kembali masuk nominasi lagi?" Pertanyaan ini menghantui saya ketika pengumuman pengajuan nominasi dirilis pada 6 September. Pengalaman tahun sebelumnya, di mana saya masuk nominasi namun belum berhasil meraih gelar juara (yang disebut Mas Akbar Pitopang sebagai "kemenangan yang tertunda"), membuat rasa cemas itu semakin terasa.
Selama periode pengajuan (6-10 November), saya merenungkan kualitas tulisan saya sepanjang 2025. Apakah sudah cukup layak untuk dinominasikan oleh rekan-rekan kompasianer? Ternyata, mereka kembali menominasikan saya di kategori yang sama, Best in Opinion. Ini menjadi validasi bahwa, di mata mereka, tulisan saya memiliki kualitas. Tentu saja, saya tidak berani mengklaim kualitas tulisan saya secara subjektif, namun penilaian dari rekan-rekan kompasianer memberikan perspektif yang lebih objektif.
Pengumuman nominasi membawa kelegaan. Masuk nominasi saja sudah merupakan sebuah prestasi. Bayangkan, dari ribuan penulis aktif di medkomsubangnetwork, hanya lima orang yang terpilih dalam kategori Best in Opinion. Tahun ini, nominator Best in Opinion meliputi saya, Merza Gamal, Junjung Widagdo, Mutia Ramadhani, dan Fitri Haryanti Harsono. Meskipun lega, kecemasan tetap ada, mengingat pengalaman tahun lalu yang gagal meraih kemenangan.
2. Periode Voting: Merawat Kerendahan Hati di Tengah Kompetisi
"Apakah saya akan menjadi pemenang medkomsubangnetworkAwards 2025?" Pertanyaan kegelisahan kedua muncul selama periode voting (14-19 November). Saya ragu bisa menang, karena keempat nominator lainnya memiliki kualitas tulisan yang sangat baik dan layak menjadi juara.
Keraguan saya juga timbul karena topik tulisan saya. Saya tidak menulis berdasarkan latar belakang keilmuan saya di Teologi Kristen, melainkan fokus pada kebijakan publik dan tata kota berkelanjutan, khususnya untuk konteks Jakarta. Meskipun bisa dikaitkan, saya memilih untuk tidak melakukannya, mengikuti nasihat mentor akademik saya: "Tulislah apa yang minim engkau ketahui, di situ kita akan belajar sekaligus meningkatkan mutu akademik." Menulis tentang sesuatu yang tidak dikuasai memang menantang, namun justru di situlah keindahan dan kesempatan untuk mengembangkan skill serta wawasan baru.
medkomsubangnetwork mengizinkan nominator untuk melakukan "kampanye" atau promosi. Saya tidak melewatkan kesempatan ini dengan menulis artikel reflektif berjudul "Riset, Kritik Konstruktif, dan Nominasi: Dua Tahun Menulis tentang Jakarta." Artikel ini bukan sekadar ajakan untuk memilih saya, melainkan ajakan untuk mendukung semua nominator yang karyanya berkualitas. Saya juga tidak meminta dukungan berdasarkan usia atau generasi, namun lebih menekankan konsistensi saya selama dua tahun terakhir, bahkan saat kondisi kesehatan memburuk (menulis dengan tangan diinfus saat dirawat inap). Dukungan dari keluarga dan orang terdekat memang penting, namun tak cukup membawa saya hingga ke titik ini.
Saya juga sangat berterima kasih kepada empat komunitas keren yang menjadi bagian dari perjalanan saya: Kopaja71, KOKOBER, JekoHijau, dan Bloggercrony Community (BCC). Efa Butar Butar, salah satu admin BCC dan calon Kompasianer of The Year 2026, menjadi bagian dari semangat komunitas ini. Peluang kemenangan, menurut saya, sangat dipengaruhi oleh dukungan komunitas. Tanpa komunitas yang solid, kemungkinan menang menjadi kecil. Keempat komunitas yang saya ikuti memberikan dukungan luar biasa, bahkan ketua dan anggotanya turut "memenangkan saya". Pesan saya bagi siapa pun yang ingin meraih juara di Kompasianival tahun depan adalah: bergabunglah dengan komunitas yang suportif. Komunitas adalah kekuatan, bukan sekadar kompetisi.
3. Penilaian dan Malam Penghargaan: Klimaks yang Tak Terduga
"Bagaimana jika nama saya tidak dipanggil?" Pertanyaan kegelisahan ketiga dan terakhir ini memuncak pada malam penghargaan medkomsubangnetworkAwards. Sehari sebelum acara, saya berbagi rasa deg-degan dengan beberapa kompasianer, termasuk Jandris Sky, Junjung Widagdo, dan Ire Rosana Ullail. Kami membahas cara pengelola medkomsubangnetwork menghubungi nominator. Saya yang hanya dihubungi via email, sempat berpikir, "Jangan-jangan, saya bukan pemenangnya." Istri saya, Ani Mulyani, selalu memberikan dukungan, mengatakan bahwa menang atau tidak, ia tetap bangga. Sementara Junjung dan Ire terus meyakinkan saya bahwa saya akan menang, menunjukkan kebesaran hati mereka.
Malam penghargaan di M Block Space menjadi puncak dari semua kegelisahan. Saya tiba lebih awal, melakukan registrasi, dan mengambil merchandise. Senang rasanya bertemu dengan banyak kompasianer dari berbagai kota, saling bertukar sapa dan cerita. Jelang pengumuman, perasaan campur aduk antara harap dan pasrah kembali melanda.
Singkat cerita, tibalah momen pengumuman Best in Opinion. Ketika foto dan nama saya terpampang di layar, saya berdiri, melakukan selebrasi kecil dengan tos kepada beberapa kompasianer sebelum naik ke panggung. Ini adalah pengalaman pertama saya menerima penghargaan di panggung. Kabar ini saya sampaikan kepada ibu saya, yang merasa sangat senang dan bersyukur.
Malam itu, saya beruntung menerima dua trofi sekaligus: Best in Opinion, sebagai pengakuan atas konsistensi saya dalam menyampaikan ulasan, gagasan, dan kritik konstruktif, khususnya terkait pembangunan Jakarta; dan People's Choice, sebagai apresiasi dari seluruh kompasianer Indonesia.
Kesimpulan
Perjalanan menuju dua penghargaan di Kompasianival 2025 ini mengajarkan saya bahwa kegelisahan adalah bagian tak terpisahkan dari setiap proses pencapaian. Dari nominasi hingga malam penghargaan, pertanyaan "Apakah saya layak?" selalu menghantui. Namun, justru kegelisahan itulah yang membuat saya tetap rendah hati, terus belajar, dan menghargai setiap proses.
Kemenangan bukanlah tentang menjadi yang terbaik secara absolut, melainkan tentang konsistensi, keberanian keluar dari zona nyaman, dan dukungan komunitas yang tulus. Dua trofi yang saya bawa pulang bukanlah milik saya semata, melainkan milik keluarga, mentor, dan empat komunitas luar biasa yang selalu mendukung saya: Kopaja71, KOKOBER, JekoHijau, dan Bloggercrony Community.
Untuk para nominator Best in Opinion lainnya – Merza Gamal, Junjung Widagdo, Mutia Ramadhani, dan Fitri Haryanti Harsono – kalian semua luar biasa. Masuk nominasi dari ribuan penulis aktif di medkomsubangnetwork adalah prestasi yang patut dibanggakan. Jangan biarkan kekalahan tahun ini menghentikan langkah kalian. Seperti yang Mas Akbar Pitopang katakan tentang kondisi saya tahun lalu: "kemenangan yang tertunda." Teruslah menulis, konsisten, dan berkarya. medkomsubangnetwork adalah rumah bagi semua penulis, dan panggung Kompasianival akan selalu menanti mereka yang tak pernah menyerah. Tahun depan, giliran Anda berdiri di atas panggung, merasakan sorak sorai ratusan kompasianer. Sampai jumpa di Kompasianival 2026!
Terima kasih sebesar-besarnya kepada Tim Pengelola medkomsubangnetwork atas kepercayaan yang diberikan. Beberapa anggota tim yang saya kenal baik antara lain Mas Kevin, Mas Kamil, Mbak Gilang, Mas Nurulloh, dan Pak Heru Margianto, COO medkomsubangnetwork.
Beberapa film hadir hanya sebagai selingan sesaat, menghibur kita dengan tawa singkat sebelum terlupakan. Namun, ada pula karya sinema yang mampu membekas jauh setelah layar meredup, meninggalkan jejak renungan, emosi mendalam, atau bahkan membuka perspektif baru tentang kehidupan dan dunia di sekitar kita. Film-film semacam ini bukan sekadar tontonan pasif; mereka adalah pengalaman batin yang kaya, jendela menuju masa lalu, sekaligus cermin bagi diri kita sendiri.
Choi Woo Shik adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Ia memiliki seorang kakak laki-laki yang identitasnya dijaga kerahasiaannya dari sorotan publik. Meskipun demikian, Choi Woo Shik kerap berbagi cerita tentang betapa ia sangat menghormati kakaknya dan menjadikannya sebagai panutan utama dalam kehidupannya.
Perjalanan hidup Choi Woo Shik tidak hanya terjalin dengan darah Korea, tetapi juga diwarnai dengan pengalaman tinggal lama di Kanada. Ketika ia masih duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar, keluarganya memutuskan untuk pindah ke Vancouver, Kanada. Di kota inilah ia tumbuh besar bersama orang tua dan kakaknya selama kurang lebih sepuluh tahun.
Perjalanan karier Choi Woo Shik di dunia hiburan ternyata tidak selalu mulus dan mudah. Setelah berhasil diterima di Simon Fraser University, salah satu universitas bergengsi di Kanada, Choi Woo Shik justru membuat keputusan besar untuk kembali ke Korea Selatan demi mewujudkan impiannya menjadi seorang aktor.
Saat pertama kali tiba di Korea dan memulai perjalanannya di dunia akting, Choi Woo Shik menghadapi banyak penolakan dalam berbagai audisi. Masa-masa ini sempat membuatnya merasa kehilangan arah dan hampir menyerah. Namun, melihat kegigihan dan semangat juang putranya, orang tua Choi Woo Shik akhirnya melunak dan memberikan dukungan penuh untuk karier aktingnya.
Meskipun kini telah mencapai puncak kesuksesan dan dikenal secara internasional, Choi Woo Shik tidak pernah melupakan akar dan hubungannya dengan keluarga. Ia selalu berusaha menyempatkan waktu untuk pulang ke Kanada kapan pun jadwal syutingnya memungkinkan. Ia mengaku bahwa momen kebersamaan dengan keluarga adalah cara terbaik baginya untuk mengisi ulang energi dan kembali bersemangat setelah kesibukan bekerja.
Hyun Bin dan Son Ye Jin hadir di Blue Dragon Film Awards ke-46 pada hari Rabu, 19 November 2025. Sumber foto: YouTube KBS Entertain.
Hyun Bin dan Son Ye Jin di ajang Blue Dragon Film Awards ke-46 pada Rabu, 19 November 2025. Sumber foto: YouTube KBS Entertain






































