Sengketa Properti: Kriminalisasi Rugikan BT Rp 24 Miliar

Sengketa Properti dan Tuduhan Penggelapan: Budiman Tiang Merasa Dikriminalisasi
Denpasar – Sidang lanjutan perkara pidana yang menjerat Budiman Tiang (BT) kembali mengemuka di Pengadilan Negeri Denpasar pada Selasa lalu. Agenda persidangan yang berlangsung dari sore hingga petang itu berfokus pada pembacaan pledoi pribadi terdakwa dan pemaparan argumen dari tim penasihat hukumnya. Yang menarik dan menimbulkan pertanyaan besar adalah terungkapnya fakta bahwa BT justru diduga mengalami kerugian materiil yang signifikan, mencapai Rp 24 miliar, namun justru berstatus sebagai terdakwa. Hal ini memunculkan dugaan kuat adanya kriminalisasi dalam sengketa properti yang tengah dihadapi.
Pledoi Terdakwa: Gugurnya Unsur Penggelapan
Dalam pembelaan tertulisnya, pihak terdakwa secara tegas menyatakan bahwa seluruh unsur yang digunakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk menjerat Budiman Tiang dengan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai dugaan penggelapan, dinilai telah gugur satu per satu berdasarkan bukti dan fakta yang terungkap di persidangan. Penasihat hukum BT memaparkan bahwa tidak ada bukti konkret yang menunjukkan terdakwa pernah menguasai atau menikmati barang maupun dana secara melawan hukum, sebagaimana yang dituduhkan.
Sebaliknya, fakta persidangan justru mengungkap sebuah ironi: bangunan senilai Rp 170 miliar, yang menjadi dasar tuduhan penggelapan, saat ini berada dalam penguasaan pihak lawan, bukan Budiman Tiang. "Unsur penggelapan gugur semuanya. Tidak ada satu pun unsur yang terbukti secara terang dan jelas," ujar Gede Pasek Suardika, S.H., M.H., dari Berdikari Law Office, selaku penasihat hukum terdakwa.
Poin-Poin Krusial dalam Pledoi Pribadi Budiman Tiang
Dalam pledoi pribadinya, Budiman Tiang menguraikan sejumlah poin penting yang menurutnya menunjukkan bahwa dakwaan JPU tidak memenuhi syarat formil maupun materil. Beberapa poin krusial yang diangkat antara lain:
- Objek Penggelapan yang Kabur: BT menegaskan bahwa JPU tidak pernah menjelaskan secara tegas apa objek yang dituduhkan digelapkan. Apakah itu tanah, bangunan, dana kerja sama operasional, atau uang sewa? Ketidakjelasan ini membuat dakwaan menjadi kabur dan tidak memenuhi asas kepastian hukum.
- Kepemilikan Objek Sengketa: Tanah dan bangunan yang dipersoalkan berada di bawah Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) milik Budiman Tiang sendiri. Berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung, seseorang tidak dapat dipidana karena menggelapkan barang miliknya sendiri.
- Keterangan Saksi yang Meragukan: JPU mendalilkan adanya kerugian dari pembayaran yang dilakukan oleh warga negara asing bernama Nicholas Laye. Namun, persidangan mengungkap bahwa Laye tidak pernah diperiksa di tingkat penyidikan, tidak pernah hadir di sidang, serta tidak pernah memberikan keterangan di bawah sumpah. Hal ini membuat dasar tuduhan kerugian menjadi lemah.
- Penggunaan Dana Operasional: Dana sebesar Rp 20 juta yang disebut-sebut dalam perkara ini, menurut BT, tidak digunakan untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk operasional perusahaan.
- Sengketa Korporasi, Bukan Pidana: BT menilai bahwa perkara ini lebih merupakan sengketa korporasi, bukan tindak pidana. Ia berargumen bahwa direksi pelapor tidak menyusun laporan keuangan, tidak melakukan audit, dan diduga menyembunyikan sejumlah transaksi.
- Tidak Adanya Kerugian Nyata: BT menekankan bahwa JPU tidak dapat menjelaskan secara pasti siapa yang dirugikan, besaran kerugiannya, maupun mekanisme kerugian tersebut terjadi. Tanpa adanya kerugian nyata, unsur penggelapan tidak terpenuhi.
- Kesaksian Tidak Berdasarkan Pengalaman Langsung: Sejumlah kesaksian dari pihak pelapor dinilai tidak berdasarkan pengalaman langsung, melainkan informasi dari pihak lain. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kesaksian semacam ini seharusnya dikesampingkan.
Mengutip Yurisprudensi dan Asas Hukum
Lebih lanjut, Budiman Tiang merujuk pada putusan Mahkamah Agung yang secara konsisten menegaskan bahwa perselisihan bisnis dan perjanjian keperdataan bukanlah ranah pidana. Ia juga menegaskan kembali bahwa tidak ada barang milik orang lain, tidak ada penyalahgunaan wewenang, tidak ada kerugian nyata, serta tidak ada niat jahat dari pihaknya.
Penggunaan pembayaran Nicholas Laye sebagai dasar konstruksi kerugian oleh JPU dinilai tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Tidak adanya pemeriksaan Laye di tingkat penyidikan, ketidakhadirannya di persidangan, serta ketiadaan keterangan di bawah sumpah membuat aliran dana dan klaim kerugian tidak memenuhi asas due process of law.
Konsumen Tidak Dihadirkan, Tuduhan Tak Berdasar
Salah satu tuduhan paling serius adalah bahwa Budiman Tiang merugikan konsumen dalam pengelolaan proyek kerja sama. Namun, selama persidangan berlangsung, tidak satu pun konsumen yang dihadirkan untuk memberikan keterangan. Tidak ada yang mengaku mengalami kerugian, tidak ada bukti kerugian nyata, dan tidak ada saksi fakta yang memperkuat dakwaan tersebut. "Bagaimana mungkin menuduh Terdakwa merugikan konsumen, jika tidak satu pun konsumen yang dihadirkan di persidangan?” sentil GPS, merujuk pada argumen JPU.
Tim kuasa hukum BT menilai bahwa klaim JPU semata-mata bersandar pada Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang seluruhnya telah dipatahkan di persidangan. "Fakta persidangan, kerugian justru ada pada terdakwa. Di mana dalam persidangan terungkap bahwa BT justru yang menderita kerugian," tegasnya.
Kerugian Finansial yang Dialami Budiman Tiang
Kerugian yang dialami oleh Budiman Tiang mencakup beberapa poin signifikan:
- Dua warga negara Rusia, Igor dan Stanislav, memiliki utang kepada BT sebesar Rp 24 miliar yang belum pernah dibayar.
- Modal dan aset BT berupa empat SHGB yang digunakan dalam proyek tidak pernah diganti.
- Igor dan Stanislav justru yang menikmati keuntungan dari proyek tersebut.
"Fakta persidangan ini membongkar bahwa tidak ada unsur 'menguntungkan diri sendiri', melainkan BT yang dirugikan," diingatkan kembali dalam sidang. "Ini kriminalisasi. Ketika penipuan tidak terbukti, pasal penggelapan dipaksakan."
Integritas Peradilan dan Keterlibatan Pihak Asing
Gede Pasek Suardika menekankan pentingnya integritas dalam peradilan. "Tinggal keberanian hakim untuk memilih keadilan, atau takut bayang-bayang orang besar yang bermain di belakang perkara ini," tuturnya.
Kasus yang menyeret Budiman Tiang memang menarik perhatian banyak pihak, tidak hanya karena "korban" justru menjadi terdakwa, tetapi juga karena melibatkan pihak asing. Situasi investasi asing di Bali belakangan ini memang banyak diwarnai beragam kasus.
Dalam sidang tersebut, terungkap pula bahwa dua warga Rusia yang mengklaim diri sebagai investor, ternyata diduga hanya berprofesi sebagai sales properti. Selain itu, sejumlah proyek Magnum di Berawa dan Sanur diduga tidak memiliki izin lengkap. Situasi ini semakin memperkuat kekhawatiran adanya kriminalisasi terhadap pelaku usaha lokal dalam sengketa bisnis dengan warga negara asing.
Gugatan Perbuatan Melawan Hukum
Selain perkara pidana, Budiman Tiang juga mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dengan nomor perkara 1183/Pdt.G/2025/PN.Dps terhadap Kapolda Bali dan Komandan Brimob, yang diajukan atas nama pribadi, bukan sebagai pejabat Polri. Sidang terakhir terkait gugatan ini digelar pada 26 November 2025 dengan agenda penyerahan bukti awal terkait kewenangan absolut PN Denpasar. Sidang akan berlanjut pada tahap pembuktian.
Sementara itu, sidang pidana Budiman Tiang dijadwalkan akan berlanjut pada Selasa, 9 Desember 2025, dengan agenda pembacaan replik atau tanggapan JPU terhadap pledoi terdakwa.
