Rehabilitasi: Keadilan yang Diberikan Presiden untuk Memulihkan Nama Baik
Dalam rentang waktu yang relatif singkat, dua kebijakan rehabilitasi yang dikeluarkan oleh Presiden Prabowo Subianto telah menarik perhatian publik secara luas. Kebijakan ini tidak hanya memberikan pemulihan nama baik bagi para penerimanya, tetapi juga memicu diskusi mengenai konsep keadilan dan peran negara dalam meninjau kembali proses hukum. Dua kasus yang menonjol adalah pemberian rehabilitasi kepada dua guru honorer di Luwu Utara dan tiga mantan direksi PT ASDP Indonesia Ferry.
Kasus Guru Honorer Luwu Utara: Keadilan untuk Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Pada Kamis, 13 November 2025, setelah menyelesaikan kunjungan kenegaraan dari Australia, Presiden Prabowo disambut dengan sebuah isu penting yang menanti keputusannya. Dua guru Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Luwu Utara, Sulawesi Selatan, yaitu Abdul Muis dan Rasnal, tengah menghadapi konsekuensi hukum akibat tindakan mereka memungut iuran dari orang tua siswa. Iuran ini dikumpulkan untuk membayar gaji guru honorer, sebuah praktik yang sebenarnya telah disepakati oleh komite sekolah. Namun, situasi tersebut berujung pada proses hukum yang menjerat kedua guru tersebut dengan vonis penjara selama satu tahun.
Menanggapi situasi ini, aspirasi masyarakat Sulawesi Selatan mengalir deras, mulai dari tingkat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) hingga Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Upaya ini berlanjut dengan fasilitasi pertemuan dengan Presiden. Menjawab desakan publik yang kuat, Presiden Prabowo secara resmi menandatangani surat rehabilitasi saat masih berada di pangkalan udara Halim Perdanakusuma, Jakarta.
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, mengumumkan keputusan tersebut pada hari yang sama. "Barusan saja Bapak Presiden menandatangani surat rehabilitasi," ujar Dasco di Lanud Halim Perdanakusuma. Dengan diterbitkannya surat rehabilitasi ini, negara secara resmi memulihkan nama baik, harkat, martabat, serta seluruh hak-hak kedua guru tersebut yang sebelumnya terdampak oleh masalah hukum. "Dengan diberikannya rehabilitasi, dipulihkan nama baik, harkat martabat, serta hak-hak kedua guru ini. Semoga berkah," tambah Dasco.
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Prasetyo Hadi, menekankan bahwa keputusan Presiden ini merupakan bentuk penghargaan negara terhadap dedikasi para guru. Ia menyebut guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang patut dihormati dan dilindungi. "Bagaimanapun guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang harus kita perhatikan, hormati, dan lindungi. Dalam setiap dinamika, pemerintah selalu berupaya mencari penyelesaian yang terbaik," tegasnya, seraya menambahkan bahwa pemerintah selalu mengedepankan penyelesaian yang adil dan berkeadilan bagi semua pihak.
Kasus Eks Direksi ASDP: Meninjau Ulang Keputusan Bisnis dan Kerugian Negara
Tidak berselang lama, pada 25 November 2025, publik kembali dikejutkan oleh kebijakan rehabilitasi serupa. Kali ini, fokusnya adalah pada tiga mantan direksi PT ASDP Indonesia Ferry: Ira Puspadewi, Muhammad Yusuf Hadi, dan Harry Muhammad Adhi Caksono. Ketiganya baru saja divonis bersalah dalam kasus korupsi terkait akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN), yang diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp 1,25 triliun.
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, kembali hadir di hadapan media untuk menyampaikan berita ini. "Presiden RI, Bapak Prabowo Subianto, telah menandatangani surat rehabilitasi terhadap Ira Puspadewi, Muhammad Yusuf Hadi, dan Harry Muhammad Adhi Caksono," ungkap Dasco dalam konferensi pers di Istana Negara, Jakarta.
Pemberian rehabilitasi ini terjadi hanya lima hari setelah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan hukuman kepada ketiganya. Ira Puspadewi divonis 4 tahun 6 bulan penjara, sementara Muhammad Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono masing-masing dijatuhi hukuman 4 tahun penjara. Mereka dinyatakan melanggar Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terkait akuisisi PT Jembatan Nusantara.
Namun, vonis tersebut tidak sepenuhnya bulat. Terdapat dissenting opinion dari Ketua Majelis Hakim, Sunoto. Hakim Sunoto berpandangan bahwa kebijakan akuisisi tersebut seharusnya dikategorikan sebagai keputusan bisnis yang kurang optimal, bukan sebagai tindakan yang didasari niat jahat untuk merugikan negara. Menurutnya, keputusan tersebut berada di bawah prinsip Business Judgement Rule dan seharusnya diproses melalui jalur perdata atau administratif, bukan pidana. Hakim Sunoto juga mengingatkan bahwa kriminalisasi terhadap keputusan bisnis dapat menimbulkan ketakutan bagi para profesional untuk mengambil risiko, yang pada akhirnya dapat menghambat pengembangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Pandangan dissenting opinion ini kemudian menjadi salah satu rujukan penting bagi DPR dalam menyampaikan kajian kasus tersebut kepada Presiden.
Mensesneg Prasetyo Hadi menjelaskan bahwa keputusan pemberian rehabilitasi ini merupakan hasil kajian mendalam yang dilakukan setelah menerima beragam aspirasi publik terkait proses hukum yang telah berjalan sejak Juli 2024. Pemerintah dan DPR RI menerima banyak masukan mengenai keberlanjutan kasus ini, yang memerlukan pendalaman menyeluruh.
"Banyak kajian dilakukan, termasuk permintaan pendapat dari para pakar hukum. Setelah surat usulan dari DPR RI diterima, Kementerian Hukum memberikan rekomendasi agar presiden menggunakan hak rehabilitasi," ujar Prasetyo. Ia menambahkan, rekomendasi tersebut kemudian dibahas dalam rapat terbatas, dan Presiden Prabowo akhirnya memutuskan untuk membubuhkan tanda tangan pada surat rehabilitasi tersebut. "Alhamdulillah sore ini beliau membubuhkan tanda tangan. Kami bertiga diminta menyampaikan ke publik untuk kemudian diproses sesuai ketentuan perundang-undangan," pungkasnya.
Kedua kasus rehabilitasi ini menunjukkan adanya upaya negara untuk meninjau kembali dan memperbaiki potensi ketidakadilan dalam proses hukum, dengan tujuan utama memulihkan nama baik individu yang dianggap layak menerimanya.