Kontroversi Pencabutan Mandat Charles Holland Taylor: Peran Intelektual dan Dinamika Internal PBNU
Isu mengenai pencabutan mandat Charles Holland Taylor, seorang tokoh yang dikenal memiliki rekam jejak panjang dalam mempromosikan pemikiran Islam moderat dan inklusif, kembali mengemuka dan menjadi sorotan publik. Hal ini dipicu oleh beredarnya surat edaran bernomor 4780/PB.23/A.II.10.71/99/11/2025, tertanggal 22 November 2025, yang dikeluarkan atas nama Rais Aam PBNU. Surat ini disebut sebagai dasar penarikan kewenangan Taylor dalam kapasitasnya sebagai Penasihat Khusus Ketua Umum PBNU untuk Urusan Internasional. Namun, penjelasan yang simpang siur dari berbagai pihak membuat status Taylor dan konteks pencabutan kewenangannya masih menyisakan banyak pertanyaan.
Jejak Panjang Charles Holland Taylor dalam Jaringan Intelektual NU
Charles Holland Taylor bukanlah sosok yang asing di kalangan aktivis dan pemikir yang memiliki kedekatan dengan Nahdlatul Ulama (NU). Pria berkebangsaan Amerika Serikat ini telah lama dikenal sebagai figur yang gigih mendorong pembaruan pemikiran Islam di kancah global. Melalui berbagai inisiatif yang dipimpinnya, Taylor secara konsisten mempromosikan pendekatan Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai inklusivitas, toleransi, serta secara tegas menolak segala bentuk ekstremisme.
Ketertarikannya yang mendalam pada gerakan intelektual dunia Islam bukanlah sesuatu yang muncul secara tiba-tiba. Perjalanan panjangnya dimulai pada tahun 2003, ketika Taylor berinisiatif mendirikan LibForAll Foundation bersama dengan Presiden keempat Republik Indonesia, KH. Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur. Organisasi ini didirikan dengan fokus utama untuk menyusun strategi yang efektif dalam menghadapi radikalisme berskala internasional, sembari membangun jembatan kerja sama yang kokoh lintas negara dan lintas agama. Langkah progresif ini semakin memperkuat reputasi Taylor sebagai seorang aktor yang aktif dalam mendorong wacana moderasi beragama di tingkat global.
Perjalanan intelektual Taylor tidak berhenti di situ. Pada tahun 2014, ia kembali menggagas pendirian sebuah lembaga penting bernama Bayt Ar-Rahmah. Dalam pendiriannya, ia menggandeng dua tokoh terkemuka dari NU, yaitu KH. A. Mustofa Bisri (Gus Mus) dan KH. Yahya Cholil Staquf. Melalui organisasi inilah, Taylor terlibat secara mendalam dalam berbagai upaya pembaruan ortodoksi Islam yang dinilai oleh sebagian pihak sudah tidak lagi relevan dengan tantangan-tantangan global yang dihadapi di masa kini.
Salah satu program unggulan yang ia usung adalah gerakan "Humanitarian Islam," yang secara resmi diluncurkan pada tahun 2017. Sejak gerakan ini berjalan, PBNU memberikan kepercayaan kepada Taylor dengan menunjuknya sebagai Utusan untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Amerika, dan Eropa bagi Gerakan Pemuda Ansor. Selain itu, ia juga tercatat sebagai salah satu pendiri Center for Shared Civilizational Values (CSCV). Lembaga ini didirikan pada tahun 2021 dan kemudian diperkuat dengan mandat dari PBNU pada tahun 2022 untuk mengelola berbagai kerja sama dan diplomasi internasional yang strategis.
Polemik Mandat dan Penarikan Kewenangan Charles Holland Taylor
Mengingat peran Charles Holland Taylor yang begitu luas dan signifikan dalam berbagai inisiatif internasional yang melibatkan NU, kabar mengenai pencabutan mandatnya tentu saja memicu perhatian luas dari berbagai kalangan. Surat edaran yang disebut sebagai dasar pengambilan keputusan tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa pencabutan mandat dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Bab XVIII Anggaran Rumah Tangga NU, yang mencakup Pasal 57, 58, 62, 64, dan 67. Ketua PBNU, Umarsyah, bahkan telah mengonfirmasi kebenaran adanya surat edaran tersebut.
Dalam informasi yang beredar di publik, disebutkan bahwa Taylor dicabut mandatnya karena diduga memiliki keterkaitan dengan jaringan-jaringan tertentu yang dianggap dapat berpotensi mempengaruhi arah kebijakan politik luar negeri PBNU. Namun, hingga saat ini, belum ada penjelasan yang rinci mengenai bentuk spesifik dari keterkaitan tersebut yang dapat diungkapkan kepada publik.
Di tengah simpang siur informasi ini, muncul pula pernyataan yang berbeda dari Katib Aam PBNU, KH. Ahmad Said Asrori. Beliau dengan tegas membantah adanya tindakan pemecatan terhadap Taylor. "Ini tadi para kiai sepakat, tidak ada pemecatan. Dan Rais Aam tidak pernah memecat orang, tidak pernah," ujarnya dalam sebuah konferensi pers yang digelar usai pertemuan bersama Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf dan sejumlah kiai terkemuka lainnya di Gedung PBNU. Pernyataan ini, sebagaimana dikutip dari Pikiran-Rakyat.com pada 23 November 2025, memberikan perspektif yang berbeda mengenai status Taylor.
Lebih lanjut, pakar hukum sekaligus pengurus NU di Australia, Nadirsyah Hosen, juga turut memberikan sorotan kritis terhadap keabsahan surat edaran yang beredar tersebut. Melalui sebuah unggahan di akun Instagram pribadinya, ia menjelaskan bahwa surat resmi yang dikeluarkan oleh Syuriah maupun Tanfidziyah PBNU seharusnya dibubuhi empat tanda tangan. Tanda tangan tersebut meliputi Rais Aam, Katib Aam, Ketua Umum, dan Sekretaris Jenderal. Namun, dalam kasus surat yang berkaitan dengan pencabutan mandat Taylor, ia mengamati bahwa surat dari Syuriah hanya ditandatangani oleh Rais Aam, sementara surat dari Tanfidziyah hanya diteken oleh Ketua Umum. "Padahal aturan mengharuskan empat tanda tangan," tulis Nadirsyah Hosen, menyoroti potensi kelemahan prosedural dalam penerbitan surat tersebut.
Perbedaan interpretasi dan keabsahan surat edaran ini menunjukkan adanya dinamika internal yang kompleks di dalam tubuh PBNU terkait isu Charles Holland Taylor. Penarikan kewenangan ini, terlepas dari alasan di baliknya, tentu akan memiliki implikasi terhadap peran Taylor dalam diplomasi internasional NU dan citra organisasi di mata dunia. Analisis lebih lanjut mengenai dasar hukum dan politik di balik keputusan ini, serta dampak jangka panjangnya, akan terus menjadi topik yang menarik untuk diikuti.