Santo Pelindung Hari Ini: 17 November 2025
Ringkasan Berita:
  • Santa Elisabeth dari Hungaria memberikan contoh yang mengagumkan dalam melayani kaum papa dan anak-anak terlantar, sehingga ia diakui sebagai pelindung kegiatan sosial.
  • Santo Gregorius Thaumaturgos dan Santo Dionisius Agung memiliki peran penting dalam penyebaran agama Kristen, memperkuat keyakinan para penganutnya, serta menjadi pemimpin di masa-masa penuh penindasan.
  • Santo Gregorius dari Tours dikenal luas sebagai seorang sejarawan dan penulis spiritual, yang tulisan-tulisannya merupakan sumber primer krusial untuk memahami sejarah Kekristenan dan kerajaan Prancis pada abad ke-6.

medkomsubangnetwork, MAUMERE -Berikut adalah peringatan para santo dan santa pelindung pada hari Senin, 17 November 2025.

Santa Elisabeth dari Hungaria, yang juga dikenal sebagai janda.

Elisabeth dari Hungaria, yang merupakan janda dari mendiang Pangeran Ludwig IV dari Turingia, adalah seorang wanita suci. Setelah suaminya wafat, ia bergabung dengan Ordo Ketiga Santo Fransiskus dan dengan penuh semangat menggunakan hartanya untuk membantu kaum papa.

Elisabeth dilahirkan pada tahun 1207 di Pressburg (kini Bratislava atau Saros Patak, Cekoslovakia), yang merupakan ibu kota Hungaria Utara. Ia adalah putri dari Andreas II, Raja Hungaria, dan Gertrude dari Andechs Meran.

Pada usia empat tahun, Elisabeth dijodohkan oleh orang tuanya dengan putra sulung Pangeran Hermann I dari Thuringia, Jerman Barat. Sejak saat itu, Elisabeth kecil menetap di istana Wartburg, Jerman Tengah. Di sana, ia dan putra Pangeran Hermann I tumbuh dan dididik bersama. Sayangnya, rencana pernikahan mereka kandas karena sang pangeran muda meninggal dunia di usia yang sangat belia. Sebagai gantinya, Elisabeth kemudian dijodohkan dengan Ludwig IV, putra Hermann I yang lebih muda. Pernikahan mereka dilangsungkan pada tahun 1221, saat Elisabeth berusia 14 tahun dan Ludwig berusia 21 tahun. Mereka dikaruniai tiga orang anak. Pernikahan ini berakhir pada tahun 1227, ketika Ludwig wafat akibat wabah pes saat mengikuti Perang Salib di Tanah Suci.

Selama menikah dengan suaminya, Elisabeth menjalani kehidupan yang bersahaja, berbeda dengan kemewahan yang dinikmati penghuni istana lainnya. Ia juga sangat peduli terhadap sesama, menunjukkan kasih sayang yang mendalam kepada kaum papa. Ia kerap menyumbangkan harta, makanan, dan pakaian bagi mereka yang membutuhkan. Tindakan ini tidak disetujui oleh keluarganya, yang menudingnya menghambur-hamburkan kekayaan suaminya. Suatu ketika, suaminya memergokinya saat hendak keluar rumah membawa keranjang berisi roti. "Apa yang kamu bawa itu?" tanya suaminya dengan nada sedikit meninggi. Meski sedikit gentar, Elisabeth segera menjawab, "Bunga mawar, Mas!". Suaminya tak percaya dan langsung memeriksa isi keranjang tersebut. Ternyata benar, keranjang itu penuh dengan bunga mawar segar. Tuhan seolah telah melindungi hamba-Nya. Sejak kejadian itu, Ludwig semakin mencintai Elisabeth dan hidup harmonis dengannya. Ludwig pun mulai mengerti makna di balik kegiatan sosial Elisabeth untuk membantu orang-orang miskin. Kepada penghuni istana lain yang memandang Elisabeth sebelah mata, Ludwig berujar, "Kebaikan Elisabeth akan mendatangkan berkah Tuhan bagi kita. Kita tidak akan kekurangan apa pun dari Tuhan, selama kita membiarkan Elisabeth meringankan beban sesama."

1. Jauh sebelum suaminya bertolak ke Tanah Suci untuk bergabung dalam Perang Salib, Elisabeth telah dikenal luas karena perbuatan-perbuatan belas kasihnya yang luar biasa terhadap kaum papa dan penderita. Ia membangun fasilitas kesehatan dan menyediakan santapan bagi mereka yang membutuhkan. Kedermawanannya semakin berkembang pesat setelah Elisabeth bergabung dengan Ordo Ketiga Santo Fransiskus. 2. Elisabeth telah menunjukkan kemurahan hati yang luar biasa kepada fakir miskin dan orang sakit, bahkan sebelum suaminya berangkat ke Tanah Suci untuk ambil bagian dalam Perang Salib. Ia mendirikan rumah-rumah perawatan dan menyajikan makanan bagi mereka yang kurang beruntung. Amal baktinya ini semakin bertambah ketika Elisabeth menjadi anggota Ordo Ketiga Santo Fransiskus. 3. Dengan kasih sayang yang mendalam, Elisabeth telah banyak membantu orang miskin dan sakit, bahkan sebelum suaminya pergi ke Tanah Suci untuk Perang Salib. Ia membangun rumah sakit dan memastikan orang-orang yang tertimpa musibah mendapatkan makanan. Perbuatan baiknya ini semakin berkembang ketika Elisabeth menjadi bagian dari Ordo Ketiga Santo Fransiskus.

Perilakunya semakin memicu kemarahan anggota keluarga kerajaan terhadap dirinya. Ia diusir dari istana hanya dengan membawa ketiga putranya. Selanjutnya, ketiga anaknya itu diserahkan kepada seorang sahabatnya yang dapat dipercaya. Ia sendiri kemudian bergabung dengan Ordo Ketiga Santo Fransiskus dan aktif terlibat dalam berbagai kegiatan sosial untuk membantu kaum miskin dan anak-anak yatim piatu. Ia menutup hidupnya sebagai abdi Tuhan yang teguh dan meninggal di Marburg, Jerman pada 17 November 1231, di usia 24 tahun. Berkat perantaraannya, banyak mukjizat terjadi.

Pada tahun 1235, empat tahun setelah ia wafat, status 'santo/santa'-nya telah ditetapkan. Hal ini terjadi berkat permohonan dari orang-orang yang mengenalnya secara pribadi dan menyaksikan kebajikan-kebajikan yang ia lakukan sepanjang hidupnya. Termasuk di antara para pemohon tersebut adalah bapa pengakuannya, yang sangat terkesan dengan karakter dan pencapaiannya. Elisabeth menjadi teladan hidup yang luar biasa bagi para ibu rumah tangga. Ia kemudian diangkat menjadi pelindung karya-karya sosial.

Santo Gregorius Thaumaturgos, seorang Uskup yang diakui sebagai Pengaku Iman.

Gregorius Thaumaturgos, yang dijuluki "Pembuat Mujizat", berasal dari Neokaisarea di Turki. Ia lahir pada tahun 213 dan menghembuskan napas terakhirnya di kota kelahirannya pada tahun 268. Ketenarannya didasari oleh mukjizat-mukjizat yang dilakukannya serta kontribusinya dalam menyebarkan agama Kristen di wilayah Timur.

Seorang bangsawan non-Muslim yang memiliki keahlian hukum ini berencana pergi ke Beirut, Lebanon untuk mengaplikasikan ilmunya. Dalam perjalanannya, ia berhenti sejenak di Kaisarea, Israel. Di sana, Origenes (185-254), seorang pakar Kitab Suci terkemuka di kota tersebut, membaptisnya menjadi Kristen. Kejadian ini membuatnya kehilangan minat untuk melanjutkan perjalanan ke Beirut. Ia kemudian menetap di Kaisarea selama beberapa tahun untuk belajar di bawah bimbingan Origenes.

Pada tahun 238 Masehi, ia pulang ke Neokaisarea dan ditahbiskan sebagai uskup di sana. Saat itu, jumlah umat Kristen masih sangat minim, mayoritas penduduk kota masih memeluk agama kafir. Sebagai uskup, Gregorius gigih berupaya meningkatkan jumlah umat Kristen. Kehebatannya dalam berkhotbah sangat membantu usahanya, sehingga berhasil menarik banyak orang kafir untuk memeluk agama Kristen. Selain itu, perbuatan baiknya kepada kaum miskin dan sakit, yang disertai banyak mukjizat seperti menyembuhkan orang sakit melalui doanya, semakin menarik perhatian orang kafir terhadap Kekristenan.

Pada tahun 250 Masehi, Keuskupan Neokaisarea menghadapi periode penindasan dan kekejaman yang diinisiasi oleh Kaisar Gaius Decius. Tak lama setelah itu, wilayah keuskupan tersebut dilanda bencana penyakit dan invasi dari suku Goth. Meskipun menghadapi berbagai cobaan berat, umat Kristen di Neokaisarea, dengan kepemimpinan uskup mereka, tetap teguh dalam keyakinan mereka. Ketika Gregorius meninggal dunia pada tahun 268 Masehi, hanya tersisa 17 orang non-Kristen di kota tersebut.

Santo Gregorius dari Tours, seorang Uskup dan Pengaku Iman

Gregorius, yang dilahirkan di Auvergne, Prancis pada tahun 538 dan wafat di Tours pada tahun 594, dikenal sebagai seorang uskup abad keenam. Ia juga merupakan seorang penulis dan sejarawan terkemuka yang memberikan kontribusi signifikan terhadap kekayaan budaya di Tours. Melalui berbagai upayanya, ia berhasil menjadikan kota tersebut sebagai salah satu pusat kekristenan di Prancis Tengah. Latar belakang keluarganya yang merupakan perpaduan Prancis-Roma membuat banyak anggotanya menduduki posisi penting dalam masyarakat dan Gereja. Sejak kecil, namanya adalah Gregorius Florentius; ia kemudian menggunakan nama Gregorius untuk menghormati neneknya yang pernah menjabat sebagai uskup di Langers.

Setelah Euphronius, sepupunya, wafat pada tahun 573, Gregorius mengambil alih jabatannya sebagai Uskup Tours. Dalam kapasitasnya sebagai Uskup Tours, Gregorius menjadi figur gerejawi terkemuka yang berhadapan dengan bangsa Frank, yang saat itu menguasai wilayah tersebut, termasuk Tours. Pandangannya mengenai Gereja sebagai entitas politik dan budaya turut melanggengkan sistem despotisme serta ketidakbertanggungjawaban sebagian besar Pangeran Frank.

Karyanya yang berjudul "De Cursibus Eccdesiasticis" diciptakan untuk membekali para rohaniwan dengan pengetahuan astronomi dasar agar mereka dapat menentukan waktu dengan mengamati pergerakan bintang. Studi ini sangat membantu mereka dalam manajemen waktu, khususnya terkait tugas-tugas membaca dan berdoa di malam hari. Penulisannya bergaya lugas, dengan terampil menghindari penjelasan-penjelasan berlebihan yang umum ditemukan dalam karya-karya ilmiah pada zamannya. Selain itu, ia juga menulis biografi Santo Martinus dari Tours (315-399) dan Santo Yulianus dari Brioude, yang hidup di abad ketiga, serta mengumpulkan karya-karya para santo dan martir Prancis.

Karya monumentalnya terdiri dari 10 jilid buku Sejarah Bangsa Prancis. Dua volume awal membahas rentang waktu dari awal mula hingga tahun 511. Buku ketiga dan keempat merangkum Sejarah Kerajaan Frank hingga tahun 573. Sementara itu, enam jilid sisanya merupakan kompilasi kronik mengenai kejadian dari tahun 573—saat Gregorius diangkat menjadi uskup—hingga tahun 591.

Gregorius lebih dikenal sebagai narator yang piawai dengan gaya bahasa yang kaya dan hidup, ketimbang seorang sejarawan yang netral. Ia mampu menyajikan gambaran masyarakat yang sangat jelas, dengan penekanan kuat pada aspek-aspek luar biasa dari peristiwa yang ia ceritakan. Kekuatannya yang paling kentara terletak pada kemampuannya menggambarkan karakter para tokoh yang terlibat dalam suatu kejadian. Kisahnya mengenai pembaptisan Raja Clovis dan para pengikutnya pada tahun 496 merupakan sebuah narasi klasik yang memukau. Tokoh-tokoh dari dinasti Meroving di Francia, seperti Clotaire I, Chilperic I, Guntram, Ratu Fredegund, dan anggota keluarga lainnya, dilukiskan dengan sangat hidup dan menunjukkan pemahaman yang mendalam.

Sebagaimana sejarawan lain, narasi yang disampaikannya memiliki tingkat keakuratan dan daya tarik yang luar biasa, seakan-akan ia sendiri yang mengalami peristiwa tersebut. Kisah-kisahnya merupakan warisan berharga dari abad keenam dalam kajian sejarah politik dan sosial. Karya monumentalnya, *Sejarah Bangsa Prancis*, bahkan dijadikan rujukan oleh para tokoh seperti Santo Bede, Paul Deacon, serta sejarawan lain dari abad ketujuh dan kedelapan. Buku tersebut memiliki nilai historis yang sangat tinggi sebagai sumber informasi primer mengenai Periode Meroving dalam sejarah Prancis. Tanpa kontribusinya, asal-usul monarki tersebut akan tetap menjadi misteri bagi para pakar masa kini.

.Santo Dionisius Agung, seorang Uskup dan Pengaku Iman

Beliau menjabat sebagai Uskup Aleksandria, Mesir, dan merupakan seorang pengajar agama yang sangat terkenal. Akibat penganiayaan terhadap umat Kristen di wilayahnya, ia beberapa kali terpaksa mencari perlindungan di gurun pasir Libya. Dionisius dikenal memiliki sikap yang pemaaf terhadap umat Kristen yang sempat meninggalkan iman mereka saat masa penganiayaan, namun kemudian kembali ke Gereja. Di masa-masa penuh tantangan tersebut, ia dengan tekun memperkuat keyakinan para pengikutnya. (Sumber iman katolik.com/kgg).

Temukan berita terbaru dari medkomsubangnetwork dan sumber lainnya di Google News.